Custom Search

Selasa, 04 Desember 2007

ASPEK BUDAYA DALAM PEMBERDAYAAN

Pendahuluan
Indonesia sebagai negara berkembang yang berpenduduk lebih dari 200 juta orang mempunyai potensi SDM yang besar dan merupakan negara dengan jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia (ke lima terbanyak di dunia sebelum Uni Soviet bubar pada tahun 1991), mempunyai budaya yang sangat beragam, dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beragam sumber daya alamnya yang melimpah.[1] Namun, sampai hari ini, potensi yang sangat besar tersebut masih kurang diberdayakan. Indikatornya dapat dilihat dari tingkat hidup masyarakat, tingkat kemampuan daya beli dan jumlah pengangguran terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain sekelompok kecil elit masyarakat memperoleh kemudahan dalam mengakses eksplorasi sumber daya alam. Eksternalitas dalam proses pemberdayaan ekonomi ini, diantaranya masyarakat adat dan budaya Indonesia.

Padahal masyarakat adat telah lama mengembangkan cara untuk mempertahankan hidup dengan menciptakan sistem nilai, pola hidup, sistem kelembagaan dan hukum yang selaras dengan kondisi masyarakat setempat. Pengalaman berinteraksi secara ketat dengan alam telah memberikan pengetahuan mendalam bagi kelompok-kelompok masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya lokalnya. Mereka telah memiliki pengetahuan lokal (Local Knowledge) untuk mengelola tanah, tumbuhan dan binatang baik di hutan, laut untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka sendiri seperti makanan, obat-obatan, pakaian dan perumahan. Harus diakui bahwa masyarakat adat yang hidup puluhan ribu tahun di daerah ini merupakan “ilmuwan-ilmuwan yang paling tahu” tentang alam lingkungan mereka. [2] 

Pola hidup konsumtif masyarakat Indonesia yang menggejala di kalangan muda merupakan indikator tergusurnya budaya Indonesia. Pembunuhan karakter bangsa melalui media budaya pop, tawuran pelajar, pornografi, narkoba, perilaku kriminal telah menjadikan mentalitas kalangan muda – yang akan mewarisi negara ini – sangat rapuh. Skala jangkauan kerusakan budaya bangsa ini juga sudah sangat meluas. Di Jakarta, narkoba dijajakan oleh pedagang kaki lima kepada murid-murid SD dalam bentuk permen dan pulpen. Di pedalaman Kalimantan, VCD porno laku keras dan banyak penontonnya anak-anak muda dan pelajar.[3] Di Bandung, mahasiswa dan mahasiswi melakukan seks bebas dan tersebar dalam bentuk VCD porno. Padahal, UUD 1945 telah menggariskan mengenai kesejahteraan sosial yang akan terwujud jika dimulai dari pemberdayaan masyarakat, manajemen negara dalam ekonomi yang berbasiskan masyarakat, keadilan dan kesetaraan dan distribusi yang merata ke seluruh tingkatan masyarakat. Media paling efektif untuk membangun kesejahteraan sosial dapat dimotori oleh institusi negara dan/atau masyarakat kelas menengah, dengan segala karakter yang menjadi kekhasan masyarakat kelas menengah itu sendiri. UUD 1945 sendiri juga telah menggariskan profil budaya bangsa untuk menciptakan pembangunan masyarakatnya. Variabel budaya yang mendukung terhadap pembangunan pemberdayaan masyarakat ini dapat diklasifikasikan di dalam infra struktur (masyarakat adat) dan supra struktur (etos bangsa). 

Pembahasan 
1. Potensi budaya sebagai modal kekuatan pemberdayaan. 
Kata budaya menurut perbendaharaan bahasa Jawa berasal dari kata budi dan daya. Kata budi mengandung arti : akal, tabiat, watak, akhlak, perangai, kebaikan, perbuatan baik, daya upaya, ikhtiar, kecerdikan untuk mencari pemecahan masalah. Kata daya mengandung arti : kekuatan, tenaga, pengaruh, akal, jalan/cara, muslihat, tipu. Kedua kata tersebut kalau diperhatikan mempunyai beberapa persamaan dalam arti yang dikandungnya dan setelah dipadukan memperoleh pengertian baru yaitu : ” kekuatan batin dalam daya upayanya menuju kebaikan” atau “kesadaran batin menuju kebaikan” atau “ sebagai sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih bernilai untuk ditempuh”.[4] Fuad Hassan dalam Studium Generale mengartikan budaya atau kebudayaan sebagai sehimpunan nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku warganya. Dari beberapa literatur didapat prinsip hidup, sikap hidup, falsafah hidup beberapa suku bangsa Indoneia yang tertuang dalam ajaran nilai-nilai kesepakatan hidupnya, adat istiadatnya, hukum adatnya, yang dapat menjadi modal kekuatan pemberdayaan, atau di sisi lain mungkin merupakan kelemahan yang harus diatasi permasalahannya.

 

Budaya Jawa 
Membahas budaya Jawa sebagai aspek pemberdayaan tidaklah sederhana, karena kompleksitas dan sejarah panjang yang saling mempengaruhinya. Namun secara popular kiranya tulisan Santosa (1999) dapat memberikan gambaran bagaimana budaya Jawa, dalam hal ini dilihat dari etos kerja atau spiritualisme profesi pekerja di kalangan lapisan bawah masyarakat Jawa sebenarnya masih menyimpan kekuatan yang dapat menjadi modal pemberdayaan.[5] 

Sejalan dengan laju modernisasi dan pembangunan di segala bidang, telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai bidang kehidupan. Keadaan tersebut menimbulkan transformasi budaya yang sangat tajam dengan bergesernya nilai-nilai sosial budaya, ekonomi, politik yang telah menggusur sejumlah besar nilai-nilai tradisional yang dulu merupakan simpul-simpul kekuatan yang membuat masyarakat survive dari waktu ke waktu. Salah satu ciri kebudayaan yang mengalami penghapusan secara langsung maupun tidak antara lain adalah pekerjaan tradisional seperti tukang penatu, tukang pangur, pengamen ledhek ketek, tukang pateri, pandai besi dan sebagainya. Pekerjaan ini diganti dengan jenis pekerjaan baru mulai dari pemulung sampai operator komputer. Pekerjaan tradisional juga mengandung jalinan unsur nilai spiritualisme dan profesionalisme yang menjadi pegangan rohani pelakunya. Ia berasal dari berbagai sumber, seperti agama-agama dan kepercayaan di Jawa, mitos, religi, falsafah, ajaran pujangga masa lalu dan lain-lain. Spiritualisme yang demikian mapan dan kukuh pada pekerja tradisional Jawa berhasil membentuk etos kerja profesionalisme dalam budaya kerjanya wong cilik. Dalam prakteknya para pekerja tradisional ini hampir tidak memiliki tarip pasti. Dalam bahasa Jawa taripnya “sumangga kersa”. Artinya di sana mereka menjunjung tinggi tepa slira. Pembagian kerja yang tak tertulis di perdesaan sangat dijiwai falsafah ini. Seorang buruh tani pembajak sawah tak mungkin mau diminta memanjat kelapa. Sebab pekerjaan memanjat kelapa adalah rejeki tukang panjat kelapa. Toleransi kegotong royongan dan kebersamaan senasib sepenanggungan merupakan mekanisme pembangian upah kuli-kuli pasar. Mereka memakai sistem membagi rata hasil buruhannya melalui ketua kelompoknya. Alasannya rejeki tersebut bukan milik perorangan tetapi milik bersama. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa pekerjaan tradisional di Jawa pada hakikatnya menyimpan sekian banyak nilai yang tetap relevan untuk dikaji serta diaplikasikan ke dalam wawasan, sistem, maupun mekanisme kerja di alam budaya modern, dan kita patut memberdayakannya. 

Budaya Sunda 
Mengenai masyarakat Sunda dalam buku Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya oleh Ekadjati et.al (1984) disebutkan secara ringkas sebagai berikut. Masyarakat Sunda, seperti masyarakat lain di dunia ini, terdiri atas kelompok-kelompok. Seseorang, karena kontak dan bergaul dengan orang tua, keluarga dan masyarakat, maka kepribadiannya akan berkembang. Sebaliknya kehidupan masyarakat akan mendapat pengaruh pula dari individu. Kepribadian seseorang memiliki tiga unsur kekuatan, yaitu akal, rasa dan karsa. Ketiga unsur kekuatan itu dapat menciptakan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan masyrakat, baik yang bersifat idiil maupun bersifat benda atau materi. Cita-cita orang Sunda terletak dalam kehidupan masyarakatnya yang seimbang. Keselarasan dan keseimbangan masyarakat menjamin kehidupan yang baik bagi individu-individunya. Falsafah ini terwujud dalam kehidupan yang saling tolong menolong atau gotong royong yang tampak dalam kehidupan “nguyang”,yaitu kebiasaan memberikan sesuatu dengan harapan mendapatkan balasan yang lebih besar.[6] Dari sedikit sifat dasar masyarakat Sunda di atas kiranya dapat pula dikembangkan lebih lanjut nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan modal kekuatan pemberdayaan. 

Budaya Bugis 
Abdullah (1985) dalam bukunya Manusia Bugis Makassar menyatakan: “Siri merupakan titik sentral dari kebudayaan manusia Bugis Makassar. Ia tidak hanya sekedar mengatur aturan hidup bagi manusia Bugis mkassar dalam interaksi sosialnya di masyarkat, juga bukan sekedar membela kehormatan yang sering dikaitkan dengan unsur dendam. Akan tetapi pada hakekatnya ia menyangkut semua aspek kehidupan manusia Bugis Makassar. Siri adalah unsur penggerak utama dalam perjuangan manusia untuk mencapai kejayaan dalam hidupnya, mengatur permainan dalam kehidupan antara manusia dalam masyarakat, mengatur pola kepemimpinan, menjiwai sistem peradilan agar manusia yang terlibat di dalamnya dapat berlaku adil, mengangkat martabat manusia untuk dihormati sesamanya, memberi rangsangan untuk memperkuat daya tahan dalam perjuangan, membangkitkan semangat juang yang telah mulai lemah atau goyah, merangsang unsur kreatif dalam mengembangkan potensi, bersifat manusiawi dalam kehidupan, tegas dalam pendirian dan sikap, setia kepada pimpinan yang bijaksana dan sebaliknya melakukan perlawanan terhadap seorang pemimpin yang berlaku sewenang-wenang dan lain-lain.” [7] 
Melalatoa dalam buku Sistem Budaya Indonesia pada bagian akhir buku tersebut antara lain dituliskan sebagai berikut: Konsep kebudayaan difahami sebagai sistem ide atau sistem gagasan yang merupakan acuan bagi tingkah laku dalam kehidupan sosial satu masyarakat. Diketahui sejumlah nilai budaya tersebar dalam berbagai kebudayaan, misalnya : taqwa, harga-diri, harmoni, tertib, tolong menolong, musyawarah mufakat, kreatifitas, kerja keras, rukun, kebersamaan, hormat dan lain-lain. Semua ini adalah acuan mendasar, penting, bernilai, dan luhur bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Ini juga merupakan puncak dalam kebudayaan suku yang bersangkutan dan sekaligus merupakan sistem budayanya. Puncak-puncak dari kebudayaan daerah di Indonesia merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia, yang sekaligus menjadi sistem budaya Indonesia. Sesuatu yang perlu diberi penekanan adalah bahwa sistem budaya itu adalah sesuatu yang ideal. Tetapi apakah sesuatu yang ideal itu masih terwujud secara aktual dalam suatu etnik, kenyataan menunjukkan bahwa ada tiga situasi fenomena yang mencuat. Pertama, sebagian besar budaya tersebut masih diacu oleh masyarakatnya. Kedua, sejumlah suku bangsa masih melaksanakan sebagian dari unsur budayanya dan sebagian lain telah hilang atau tergeser. Ketiga, ada suku bangsa yang hampir kehilangan seluruh sistem budayanya. Sebenarnya unsur-unsur budaya yang bernilai luhur tersebut sudah melekat pada beberapa suku bangsa kita. Misalnya : nilai tolong-menolong (pernah) berakar pada masyarakat Aceh, Minahasa, Tidore, Betawi, Bukit dan hampir di seluruh Indonesia. Sifat ramah tamah cukup menonjol di masyarakat Sumba, Sunda, Jawa, Kenyah dan lain-lain. Orang Dayak Benuaq mempunyai sifat inovatif. Dari nilai-nilai positif sistem budaya di atas dapat dikaji bahwa unsur-unsur budaya dapat dijadikan modal kekuatan dalam pemberdayaan masyarakat perlu dikembangkan. 

2. Kelembagaan dan Hukum Adat Dalam konteks Sejarah, 
Kebijakan dan Perundang-undangan Nasional. Ketika zaman pemerintahan kolonial Belanda struktur pemerintahan desa di Indonesia sangat heterogen. Kondisi ini disebabkan pemerintahan kolonial Belanda memberikan peluang masyarakat desa mengatur ke dalam (intern) urusan rumah tangga sendiri menyandang tata hidup berdasarkan adat atau bahkan berdasarkan hukum adat. Ikatan struktural masyarakat desa pada saat itu mengalami pertumbuhan dari kesatuan msyarakat adat (adat gemenschaap) – tiap warga masyarakat diharapkan menghayati pedoman hidup sosial – meningkat menjadi kesatuan masyarakat hukum adat (adat rechts – gemenschaap) – tiap warga masyarakat diharapkan mematuhi peraturan dan larangan yang diperkuat dengan ancaman hukum dan memerlukan peradilan lembaga. Kesatuan masyarakat adat atau kesatuan hukum adat yang ada pada saat itu bersifat territorial atau genealogis. Bersifat territorial, lebih menitikberatkan persatuan masyarakat adat dari segi kewilayahan, bukan masyarakat yang hidup di atasnya. Sedangkan genealogis menekankan pada masyarakatnya bukan wilayahnya. Orang dari keturunan lain dianggap orang asing di dalam kesatuan masyarakat genealogis. Menyadari heterogenitas struktur pemerintahan Belanda dan ikatan-ikatan struktural yang ada di Jawa dan di luar Jawa, pemerintah kolonial Belanda membuat dua peraturan yang berbeda mengenai struktur pemerintahan desa. Untuk Jawa dibuatlah Indlandsche Gementee Ordonnantie (IGO), Staatsblad 1906 No. 83 dan untuk di luar Jawa dibuatlah Indlandsche Gementee Ordonnantie Buitengeweten (IGOB), Staatsblad 1938 No. 683. Kedua peraturan tersebut tidak berusaha menciptakan suatu struktur pemerintahan desa baru bagi masyarakat desa, tetapi memberikan pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan adat di perdesaan dengan tujuan agar mereka legal mewakili kepentingan Hindia Belanda. Pemerintah Orde Baru mengangggap bahwa struktur pemerintahan desa yang heterogen sebagai faktor penghambat dalam menyelenggarakan pemerintahan dalam negara kesatuan Indonesia. Lebih dari itu dapat merupakan faktor penghambat dalam pembinaan kesatuan bangsa. Untuk itu, pada tanggal 1 Desember 1979 dibuat UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya disingkat UUPD) yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1979 No. 56 dan penjelasannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1979 No. 3153. Kehadiran UUPD bertujuan untuk menciptakan keseragaman dan memperkuat pemerintahan desa, agar makin mampu menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang makin meluas dan efektif.[8] 

Wajar jika Ginandjar (1996:halaman 146-149) menyatakan terdapat mitos dikalangan masyarakat mengenai pemberdayaan masyarakat. Mitos tersebut terjadi karena pemaksaan nilai baik oleh para agen pembangunan maupun pemerintah yang memaksakan cara pandang mereka sendiri, dan umumnya gagal mengintegrasikan cara pandang, keyakinan dan sistem nilai masyarakat mengenai perubahan dan mengenai arti masa depan.[9] Kenyataannya, setelah lebih 18 tahun diundangkan UUPD, tujuan normative yang dicanangkan tidaklah mudah diraih. Berbagai hasil penelitian baik kalangan akademis maupun aktivis LSM telah berhasil mengungkap kegagalan dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat berlakunya UUPD, khususnya terhadap masyarakat adat. Mintje D.E Rumbiak dan Dirk Mandibondibo (1985:91-97) mengungkapkan : “Dampak negatif yang ditimbulkan akibat implementasi UUPD di Irian Jaya adalah terjadinya dispartisipasi masyarakat adat dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan desa yang pada akhirnya mereka tidak mau tunduk dan percaya pada pemerintahan formal (desa dan pusat).”


Hal senada juga diungkapkan oleh Yunus Ukru et.al (1993 : 48-108) dan Ugrasena Pranidhana (1994), yaitu “dampak negatif dari berlakunya UUPD terhadap masyarakat adat di Maluku, antara lain: Pertama terjadinya proses manipulasi dan kooptasi lebih besar terhadap eksistensi ‘raja’ sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan Kepala Desa sebagai penguasa tunggal. Kedua kecenderungan sentralisme yang kuat dalam penerapan UUPD telah membatasi otonomi lembaga-lembaga adat tradisional sebagai salah satu pilar utama kehidupan sosial politik. Ketiga krisis kepemimpinan tradisional masyarakat adat yang mencapai puncak pada ketersingkirannya terhadap akses otonomi politik dan sumber daya alam. Keberadaannya hanya berfungsi sebatas pelaksanaan upacara-upacara komunal, seperti upacara perkawinan dan kematian.”

Dampak penting dalam pelaksanaan UUPD telah mengabaikan realitas heterogenitas pola dan mekanisme hubungan sosial politik lokal yang sebenarnya menjadi bagian dan lebih sesuai bagi penyusunan struktur kelembagaan pemerintah setempat, sehingga potensi otonomi dan keswadayaan masyarakat yang sudah ada tidak terbunuh sama sekali. Manakala penataan kehidupan masyarakat desa menurut UUPD hanya bagus di atas kertas dan diperlakukan secara nasional, sedangkan dalam kenyataan sehari-hari nyatanya justru malah merampasi hak-hak masyarakat adat, maka terjadilah cultural counter movements ke arah revivalisme budaya lokal entah dengan motifnya yang dinyatakan secara terang-terangan entah yang tidak.[10] 

3. Peran masyarakat sipil untuk membangun budaya dan masyarakat adat yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat. 


Menurut AS Hikam (1996), salah satu pilar masyarakat sipil di Indonesia dibangun melalui kelas menengah. Potensi kelas menengah diorganisasikan melalui media LSM dan Ormas[11]Model masyarakat sipil di Indonesia pada masa lalu dapat direpresentasikan oleh masyarakat adat; seperti masyarakat nagari di negeri Minang, Subak di Bali. Hari ini, pada proses transisi demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari andil dan peran kalangan civil society organization yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau Organisasi Non Pemerintah (ORNOP). Nama lain dari LSM adalah Organisasi Sumberdaya Masyarakat Sipil (OSMS). Untuk di Indonesia OSMS ini mempunyai beberapa karakterisitik seperti, dimiliki, dipimpin dan dipoerasikan secara lokal. Bersifat independen dan tidak mencari keuntungan. Mempunyai kapasitas untuk memobilisir sumber daya dari dalam atau dari luar Indonesia dan menyalurkannya kepada kelompok masyarakat sipil lainnya. Mempunyai misi menyumbang kepada partisipasi masyarakat sipil dalam menghadapi masalah-masalah pembangunan.[12] Sebagai agen pembangunan dan pemberdayan, masyarakat sipil mempunyai dua agenda strategis dalam pemberdayaan, yaitu pertama pemberdayaan tersebut dapat melepaskan belenggu dan keterbelakangan, kedua pemberdayaan dapat memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Sebagai upaya memberdayakan masyarakat, masyarakat sipil harus mampu untuk; pertama menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; kedua memperkuat potensi yang dimiliki oleh masyarakat; ketiga melindungi masyarakat.[13] Hari ini berbagai model pemberdayaan masyarakat telah dapat diterapkan. Dalam tahap mikro akan dilihat berbagai contoh keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap masyarakat umum. 

Model Unit Pondok Udik di Kabupaten Bogor. Pemberdayaan ekonomi masyarakat agribisnis berbasis pertanian lahan kering termasuk perikanan tambak yang didampingi berbagai industri rumah tangga di desa Pondok Udik di Kabupaten Bogor. Masyaraakat telah mampu menerobos dominasi tengkulak dan penduduknya hidup lebih sejahtera. OSMS yang menjadi motor adalah lembaga Koperasi Serba Usaha Mekar Sari yang didirikan tahun 1997 oleh seorang Sarjana Kedokteran Hewan, pemberdayaan yang dilakukan selama 3 tahun telah menyebar ke 9 desa di sekitarnya. OSMS ini memiliki 3000 anggota dan pada tahun 1999 telah mampu memberikan kredit sejumlah Rp. 4 Milyar kepada usaha-usaha kecil. Masyarakat di desa ini pada awalnya adalah desa IDT di Kabupaten Bogor. Pada dasarnya warga desa telah memiliki sikap-sikap seperti harga-diri, harmoni, tertib, tolong menolong, musyawarah mufakat, kerja keras, rukun, kebersamaan dan hormat. Tahapan yang dilakukan oleh perintis dengan bekerjasama dengan pesantren di sekitarnya telah membangun budaya baru di masyarakat, yaitu kreatifitas dan keterampilan baru.[14] 

Model Usaha Ekonomi Masjid Kabupaten Sumedang Pemberdayaan yang dilakukan di Kabupaten Sumedang ini dimotori tokoh masyarakat yang bernama Drs. Yaya Mirtadiredja. Koordinasi dilakukan oleh Pondok Pesantren, DKM, LSM dan Pemda Sumedang. Distribusi pemberian kredit berasal dari data anggota jama’ah sebuah masjid, lalu pihak DKM bekerjasama dengan LSM dan Pemda untuk memberikan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan oleh calon penerima kredit. Pada tahun 1989 penerimaan zakat fitrah di Sumedang terkumpul Rp. 456.126.685,- dengan jumlah muzakki sebanyak 405.792 orang. Tahun 1990 penerimaan zakat fitrah di Sumedang terkumpul Rp. 561.259.481,75 dengan jumlah muzakki sebanyak 429.201 orang. Pada tahun 1991 penerimaan zakat fitrah di Sumedang terkumpul Rp. 606.620.250,- dengan jumlah muzakki sebanyak 484.791 orang. Dengan demikian terdapat kenaikan rata-rata sebesar 21.20% untuk nilai hasil zakat fitrah yang terkumpul dan 8,50% untuk para muzakinya. Dai uang yang terkumpul dibuat daftar prioritas muzaki oleh DKM setempat. Sehingga dalam waktu 1 tahun akan dapat terbentuk dan terbina 4-6 jenis usaha kecil per masjid di Sumedang.[15] Penutup Pemberdayaan masyarakat tergantung dari kemampuan kelas menengah untuk mengorganisir masyarakat akar rumput. Budaya tradisional Indonesia telah mampu menciptakan masyarakat yang kreatif, siap bersaing dan kepribadian yang tangguh. Namun, dampak dari globalisasi dan strategi perekonomian Indonesia yang mengandalkan utang telah menciptakan ketergantungan ekonomi masyarakat Indonesia terhadap bangsa asing. Untuk itu perlu kesadaran bersama yang didorong masyarakat sipil untuk menciptakan kesadaran, kebersamaan seluruh komponen masyarakat Indonesia demi menciptakan pemberdayaan masyarakat. Jika model ini dilakukan, maka negara baik, makmur, dan diampuni Tuhan akan tercipta.



[1] Siregar, MR. 2000. Menentukan Nasib Sendiri Versus Imperialisme. Medan : Sumatera Human rights Watch Network (SHRWN). [2],[8] Syafa’at, Rahmat. 2000. Penguatan Kelembagaan dan Hukum Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan. Dialog Interaktif Apresiasi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Pengembangan Perdesaan. Malang : Direktorat Perdesaan Wilayah Tengah Direktorat Jenderal Pengembangan Perdesaan Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Penelitian Ilmu Sosial (PPIS) Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya Malang.
[3] PII, PB, Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia, Muktamar Nasional XXII. Banda Aceh : 9 – 10 Juli 2000.
[4] Herusatoto, Budiono. 1985. 2nd ed. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : PT Hanindita.
[5] Santosa, Iman Budhi. 1999. Profesi Wong Cilik Spiritualisme Pekerja Tradisional di Jawa. Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia. [6] Ekadjati, et.al. 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung : Girimukti Pasaka. [7] Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar. Jakarta : Inti Idayu Press.
[9] Nasution, Muslimin. 2001. Pemberdayaan Masyarakat : Tujuan Proses Pengembangan Masyarakat yang Dibangun Diatas realitas. Bahan Kuliah Pembangunan Yang Bertumpu pada masyarakat. Jakarta : ITB. [10] Syafa’at. Op. cit [11] Hikam, AS. 1996. Pemberdayaan Civil Society di Indonesia Dalam Konteks Ekonomi dan Politik. Makalah seminar yang Diselenggarakan Oleh BEM Fisipol UGM. Yogyakarta. [12] Ibrahim, Rustam. 2001. Direktori Organisasi Sumberdaya Masyarakat Sipil : Indonesia. : Jakarta : Pustaka Sinar Harapan dan LP3ES.
[13] Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : Cidesindo
[14] Gayo, M. Yusuf. 2000. Model Pengembangan Ekonomi Perdesaan Unit Pertanian dan Industri Kecil Pondok Udik Kecamatan Parung dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat. Jakarta : Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktur Jenderal Tata Perkotaan Tata Perdesaan.
[15] Mirtadiredja, Yaya. Usaha Ekonomi Masjid. Bahan Diskusi. Sumedang : 1996

Tidak ada komentar:

MENGENAL CRITICAL RAW MATERIAL (CRM) – 10: MINERAL PEMBAWA LTJ (RARE EARTH)

Denny Noviansyah Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth Element (REE) adalah 17 unsur dalam kelompok lantanida yang terdapat dalam tabel u...